kembang kaca piring

“Ada masanya desingan peluru menggoda jiwa.
Ada masanya kita berdiri disamping panji-panji bendera.
Tapi, haruskah kita turun kejalan...??
Ketika kemiskinan tak mampu diurai dan  kesakitan tak terobati
Dengan teori keynes sekalipun
 Lihat,  Rangkul dan rasakanlah
Dan Kau akan tahu,...  ”
Ainun Jariah
-Aula Universitas Sriwijaya-

  Malam ini ‘ain bersyukur, setidaknya ia tidak harus terjaga sampai pagi, semua telah rampung tinggal menunggu sidang kelulusan. Diletakannyanya mesin tik itu didalam lemari. Mesin tik usang itu sudah menemaninya lebih dari 4 tahun. Entah kapan ia akan menjamahnya lagi.
 Perlahan ‘ain duduk di kursi teras, sambil memandang lekat laki-laki yang tengah merakit besi-besi tulangan di teras.
“Belum tidur Ya?”
“ belum, besok pondasinya harus dipasang” balas laki-laki itu.
‘ain terdiam sejenak, pandangannya beralih ke bunga kaca piring di sudut rumah yang menguncup. Lamunannya kian menjadi,  sosok ibunya yang tiba-tiba hadir dalam lamunan itu.
“ Yah, seandainya ada yang bisa menggantikan ibu, InsyaAlloh kami ridho” ucap Ainun.
Ayah terlihat asik mencicipi Lemang buatan ‘Ain.
 Sambil tersenyum laki-laki itupun  menjawab,
“Kok anak Bapak ngomong gitu,  Nantilah nak, kalau kamu sudah jadi sarjana, dah kerja dan adik-adikmu sudah siap, Toh Ibumu juga akan senang melihat kalian berhasil”,
Ainun membalas senyum  sambil  menuangkan kopi ke gelas ayah.
 Begitulah dialog malam itu mengalir, dengan bahasa yang santun ia mampu menetramamkan hati lelaki tua itu.

.......................................................................................

Hari ini 20 Agustus sidang skripsi bagi mahasiswa tingkat akhir Fakultas kedokteran prodi Kesehatan Masyarakat, tak terkecuali Ainun Jariah. Saat kuliah Penilaian Properti di kampus STAN tercinta, ponselku bergetar.
“Assalamu’alaykum,  Kang Ikal alhamdulillah aku lulus. trims buat doanya ”
Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan ‘ain,  pagi itu akupun ikut bahagia, ya setidaknya aku tidak ngantuk lagi setelah membaca sms itu.  Sekarang anak pekerja serabutan  itu sudah lulus. Sebuah perjuangan yang tak mudah, apalagi setelah ditinggal ibunya 3 tahun yang lalu. ‘Ain harus menggantikan peran ibunya, mengayomi adik-adiknya, Arifah  –SMA kelas 2- dan Habibie –SD-. Ia memang tidak suka disebut aktivis, pun ia tak suka menyebut orang lain apatis.  Solutif, cerdas, dan Tidak menghakimi, itulah yang tergambar Lewat goresan puisi dan artikel-artikelnya yang menghiasi mading kampus, berbeda dengan kebanyakan mahasiswa yang asik terlarut dalam teori-teori dan euforia lautan kritik. Bahkan tak jarang kritik yang dilancarkan menyakiti orang lain. Tak banyak yang kutahu tentangnya. Dulu saat SMA, dia suka membantu ibunya berjualan kue-kue di depan rumah, namun kini hal itu jarang ia lakukan. Aktivitas kuliah dan mengajar cukup menyita waktunya. Yang ku ingat, tiap sore dia terlihat berada di tengah-tengah kerumunan anak-anak ditengah perkampungan kumuh di dekat rumahku. “Tukang Boroan”, begitulah orang-orang menyebut anak-anak pemulung itu. ‘Ain memang hebat, mampu menghipnotis orang tua  agar mengijinkan anak-anaknya belajar disela sela keseharian mengumpulkan barang-barang bekas. Meyakinkan tentang keutamaan ilmu.  Ia mengajari anak-anak itu mengaji, membaca, berhitung bahkan membuat kue... Ia rela bergumul dengan bau-bau menyengat hanya untuk mengajarkan teori-teori yang kadang menurutku tak penting itu. Aku menganggap beberapa pelajaran yang diajarkan disekolah itu tak penting dan tak ada gunannya. Alasannya sederhana, fakta membuktikan walau para petinggi di negeri ini sudah mengenyam bangku sekolah bahkan sampai menyabet gelar master tetap saja kadang moral tak  semulia gelar yang  dikenakan.  Dulu, Saya sering mendebatnya kenapa ia tak mau kuliah di sekolah kedinasan saja seperti saya, kenapa dia harus berlelah diri memikirkan orang lain. Nasib saya tak jauh beda dengan nya tapi cara berpikir kami sungguh  jauh  berbeda, saya lebih suka sekolah gratis, simpel dan menentramkan sedangkan ‘ain begitu semangatnya kuliah dengan biaya sendiri dan beasiswa yang ia dapat dengan susah payah. Jawabannya sederhana, “ kalo saya meningggalkan mereka mungkin saya akan sukses dan menjadi pejabat layaknya para pendahulu. Tapi kalo saya ada disini bukan hanya saya akan jadi pejabat, saya berharap bisa menjadi bagian dari kisah heroik pejabat-pejabat kecil ini yang kelak akan memimpin dengan nurani.” Jawaban yang singkat namun  menghujam. Teringat kenyaman hidup yang aku terima ketika berada di kampusku.  Akupun jadi berpikir, adakah uang yang aku sisihkan untuk celengan masjid di sekitar kampus? Adakah aku pernah berpikir tentang anak-anak lapak disekitar kampusku?jgnkan makan bersama mereka, menoleh merekapun mungkin jarang. Lalu sudah layakkah aku disebut mahasiswa?? Lalu bijakkah ketika aku berkoar-koar berteriak menghujat Israel, namun tak pernah berkaca pada diri sendiri. Ya, aku banyak belajar dari ‘Ain. Kehidupan telah menempanya menjadi seorang yang mandiri dan peduli.

......................................................................
Petang itu saat menghadiri rapat akbar pers mahasiswa di kampus, Ainun jatuh pingsan, pucat biru tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya. Teman-temannya membawa ke poliklinik. berkat bantuan temannya , iapun diantar pulang.

Dengan seragam yang masih berkeringat, dikecup kening sang kakak, “Syafakillah*”, bisik Arifah. Sesaat ia bangun tampak adik kesayangannya  Arifah  dan Habibie  berdiri disampingnya, keduanya masih mengenakan seragam sekolah...
“ Kak, tadi adik-adik Lapak dan pengajar bimbel mampir kesini. Kata pak Agung, kakak istirahat dulu aja, nanti biar beliau yang menggantikan  ” ujar arifah
“ Iya dek, kakak nggak apa-apa Cuma kecapean. Kamu nggak pulang k asrama?”
“ saya sudah ijin kak, Oh iya minggu depan saya sudah boleh meninggalkan asrama kak”,timpal ‘ifah
‘’Alhamdulillah...”

Seminggu sudah ‘Ain terbaring dirumah, disampingnya hanya ada buku diari. Teman setianya semenjak SMP dulu, ku tahu karena  aku pernah duduk satu meja dengannya. Begitu rahasianya buku itu. sudah tiga hari ini Arifah tidak masuk sekolah, ia ingin selalu di samping Ainun.  Menyuapi, dan meberikan obat. Ayah mereka pun hanya bekerja setengah hari,
Hari itu, ‘Ain tampak lebih segar, ceria dan bersemangat tak nampak sedikitpun kegelisahan. Dibuatknnya secangkir kopi hangat dan makanan kesukaan sang ayah. Ia ingin menyambut ayahnya yang pulang kerja, kali ini ia membuat kue kesukaan sang Ayah.
Ba’da maghrib, ‘Ain pindah ke kamar adiknya, lantunan ayat-ayat akhir dari surat annisa masih menggema. namun tak sampai selesai,......???
.....................................................................

LV 1200 melaju keluar stasiun lebak bulus, meninggalkan Jakarta dan peradabannya, menjelajah selat Sunda. Entah apa yang bergumul di kepalaku, tak sabar ingin ku pijakan saja kaki ini di bumi Bandarudin. Pelan-pelan memoriku memainkan lakon masa lalu lewat kaca- kaca mobil.


Hari ini 23 September, harusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi ayah dan ‘ain. Dengan langkah pelan, ku temani ayah ainun memasuki aula. Aku, ayah  dan ‘Ifah duduk berjejer. Mata keduanya berkaca-kaca, tampak kesedihan yang mendalam. Saat teman-teman yang lain merayakan keberhasilan di tengah hiruk pikuk   wisuda, justru kesedian yang mereka alami. Entahlah, aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan keduanya. ‘Ain Sudah mewujudkan mimpinya, menjadi seorang sarjana. Namun keinginan terbesarnya yang ia tulis dalam buku diarinya untuk menjadi relawan dipedalaman sungai Kampar Riau  tidak akan pernah terwujud.
 Sang Novelis Kehidupan telah menyuratkankan jalan lain baginya..  Ya, Rencana Nya pasti indah, dan aku yakin akan hal itu. Ternyata tanpa seorangpun tahu, Sudah satu tahun terakhir, ‘Ain berjuang melawan penyakit kanker yang menggrogoti tubuhnya. Ia tahan kesakitan itu sendiri.  meski akhirnya kanker ganas itu mengakhiri kisah hidupnya.

Hamba yang merasa sendiri saat kesepian datang,saat kesakitan menerkam, saat jiwa mengerucut, saat kerinduan makin menjadi, sungguh ia telah jauh dari penciptannya. ”.

 Sore hari ba’da sholat ashar ku sempatkan menemuinya.
Tepat disamping kembang kaca piring, bersanding  makam sang Bunda...Nisan itu bertuliskan Ainun Jariah.... akhirnya Ia memenuhi titah Tuhannya dengan penuh ikhlas.





Diselesaikan  tangggal 03 Desember,
Ditulis untuk mengenang sahabat terbaikku Ryan Forki  dan  Kak Tulus. Semoga Alloh merahmatimu dan memberikan kelapangan disana.


Komentar

Postingan Populer